Minggu, 21 Februari 2010

Kerusakan VS Rehabilitsi

Jepara

Di Teluk Awur Jepara, khususnya di wilayah konservasi mangrove perusakan mangrove (bakau) sudah sangat memprihatinkan. Tumbuhan bakau yang memiliki kedudukan penting dalam rantai makanan dan kehidupan organisme pantai, sekaligus berfungsi sebagai penahan abrasi pantai itu, kini kondisinya rusak parah. Bahkan selama bulan Agustus sampai dengan September 2006, penjarah dengan leluasa mengangkut hasil jarahannya tanpa sungkan, menggunakann mobil pick up. Ironisnya, hal ini terjadi disaat Hutan Mangrove Teluk Awur (HMTA) kembali menjalankan fungsi ekologinya sebagai tempat alami bagi berbiaknya ikan-ikan, burung dan biota air lainnya, yang dulunya hampir bisa dipastikan telah hilang keberadaannya. Kondisi yang sebenarnya menjadi berkah, bagi nelayan setempat untuk mencari ikan di kawasan HMTA. Sayang sekali, mereka tidak sadar akan hal itu.Bukan penjarahan bakau saja, pasir yang ada di sekitarnya, juga tak luput dari incaran para penjarah. Pasir tersebut menurut informasi akan digunakan untuk lapangan bola voli pantai.
Gresik

Gresik - Sedikitnya 40 persen atau sekitar 271 hektare (ha) dari 678,878 ha jumlah luas lahan mangrove (bakau) di delapan kecamatan di wilayah pesisir Kabupaten Gresik, Jawa Timur, rusak akibat penebangan liar oleh masyarakat sekitar.

"Kerusakan terparah berada di sekitar pesisir Kecamatan Ujungpangkah dan Manyar," kata Kepala Bidang Kelautan Dinas Perikanan Kelautan Gresik, Iwan Lukito, Rabu.

Lahan mangrove di Pantai Ujungpangkah seluas 84,1 ha rusak akibat ditebangi oleh nelayan, untuk digunakan bahan bangunan maupun kayu bakar sebagai pengganti minyak tanah.

Di pesisir Manyar dengan luas 237,95 ha mengalami kerusakan diakibatkan ahli fungsi lahan menjadi kawasan industri dan pertambakan.

Menurut dia, kerusakan mangrove di sekitar kawasan pantai di Gresik terjadi karena minimnya pengetahuan masyarakat pesisir. Mereka masih belum mengetahui penebangan mangrove bisa berakibat fatal pada lingkungan sekitar.

Salah satunya bantaran pesisir Gresik rawan diterjang angin puting beliung. Selain itu, abrasi air laut yang salah satunya terjadi di pesisir pantai Desa Sidomukti, Kecamatan Manyar.

Menurut dia, masyarakat juga masih belum mengetahui dampak hukum dari penebangan mangrove yang diatur di dalam Undang-Undang 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Larangan Penebangan Pohon Mangrove di Wilayah Pesisir Pantai.

Pada Bulan Agustus lalu, ia bersama petugas Satuan Polisi Air (Satpolair) Gresik, menangkap seorang warga yang melakukan penebangan di kawasan Pantai Ujungpangkah dan saat ini kasusnya telah ditangani Polres Gresik.

"Jadi, kami tak segan-segan menindak tegas penebangan mangrove," katanya menegaskan.

Akibat kerusakan hutan mangrove itu, pemulihan membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena itu, upaya yang bisa ditempuh dinas perikanan saat ini adalah rehabilitasi hutan mangrove dengan melibatkan masyarakat pesisir.

Surabaya

Kebutuhan manusia diyakini menjadi penyebab utama kerusakan hutan bakau "mangrove" di Jawa Timur karena minimnya pengetahuan masyarakat dalam menjaga ekosistem di kawasan pesisir pantai provinsi ini.



"Sampai saat ini, keseluruhan hutan bakau di seluruh pantai di Jatim 85.000 hektare, sedangkan yang mengalami kerusakan sekitar 13.000 hektare," kata Kepala Bidang Kelautan Pesisir dan Pengawasan Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Timur H. Erjono, di Surabaya, Senin.

Menurut dia, secara biologis bakau tumbuh di pantai yang landai dengan kondisi tanah berlumpur atau berpasir. Pohon itu juga tidak dapat tumbuh lebat di pantai yang terjal dan berombak besar.

"Untuk itu, media pertumbuhan utamanya berada di wilayah muara atau delta sungai yang membawa aliran sungai dengan kandungan lumpur," ujarnya.

Ia menilai, sifat biologis bakau yang tumbuh di kawasan peralihan antara daratan dan lautan menyebabkannya sangat rentan terhadap gangguan atau kerusakan. "Kerusakannya dapat terjadi karena alami maupun akibat ulah manusia," katanya.

Secara alami, contoh dia, rata-rata disebabkan abrasi pantai dan gelombang pasang besar seperti tsunami dan angin topan. Sementara gangguan dari aktivitas manusia banyak diakibatkan penebangan kayu, reklamasi pantai untuk perluasan permukiman, industri, dan bisnis.

"Selain itu, aktivitas perluasan tambak baik untuk budidaya maupun produksi garam," katanya.

Ia menambahkan, penyebab kerusakan itu karena minimnya pengetahuan kalau penebangan bakau bisa berakibat fatal terhadap kondisi lingkungan sekitar. Salah satunya abrasi air laut pernah terjadi di pesisir Pantai Desa Sidomukti, Kecamatan Manyar.

"Di samping itu, masyarakat juga belum tahu dampak hukum dari penebangan bakau yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Larangan Penebangan Pohon Bakau di Wilayah Pesisir Pantai," katanya.

Upaya antisipasi hal itu, lanjut dia, adalah konservasi. Solusi ini dapat menghindarkan masyarakat pesisir dari dampak lingkungan yang akan ditimbulkan akibat kerusakan hutan bakau tersebut. Konservasi hutan bakau juga bisa mengurangi dampak abrasi laut di wilayah pesisir dan pemanasan global.

Rehabilitasi

Penanaman Mangrove di Muara Sungai Porong sabtu, 30 Februari 2010


Dalam rangka memanfaatkan hasil pembuangan lumpur dan melindungi kawasan pesisir Sidoarjo dari kerusakan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KemenKP) bekerjasama dengan beberapa instansi melakukan kegiatan penanaman mangrove di pulau buatan di Muara Sungai Kali Porong. Penanaman mangrove ini bertujuan untuk memanfaatkan area pulau buatan dari sedimentasi lumpur

athiq Sidoarjo di sekitar muara Sungai. Penanaman magrove ini juga dihadiri oleh Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto dan Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta yang sebelumya juga hadir dalam acara Ground Breaking Fly Over Porong-Siring II. Tampak juga dalam kegiatan tersebut Gubernur Jatim H. Soekarwo, Pangdam V Brawijaya, Kapolda Jatim, Wakil Bupati Sidoarjo, yang didampingin Kabapel BPLS Sunarso dan beberapa pejabat di lingkungan kedua pemerintahan. Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad dalam sambutannya mengatakan “dengan adanya kegiatan penanaman mangrove ini, diharapkan kepada masyarakat untuk dapat memahami pentingnya meningkatkan dan menjaga sumberdaya pesisir dan laut dengan menanam mangrove secara mandiri. Pada akhirnya kegiatan ini dapat menunjang produksi perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Hal itu tidak lepas dari peran mangrove sebagai kawasan pemijahan daerah asuhan dan tempat mencari makan bagi ikan, udang dan kerang-kerangan”. Keberadaan mangrove sendiri memiliki fungsi penting sebagai penyerap polutan, pelindung pantai, meredam ombak, arus serta menahan sedimen. Selain itu, mangrove juga berfungsi sebagai meredam pasang laut, penahan ROB, energi gelombang serta melindungi pantai dari hempasan badai dan angin, mangrove juga dapat mengurangi emisi karbon sebagai upaya penanggulangan dampak pemanasan global, imbuhnya. Sementara itu, Menteri Negara Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta mengatakan, air lumpur yang dialirkan ke Sungai Porong dapat dimanfaatkan untuk pulau baru. "Pulau itu dapat dimanfaatkan untuk membudidayakan biota laut," ujarnya. Adanya mangrove tersebut dapat pula menarik burung-burung eksotis, hal ini otomatis akan menarik turis. Pada proyek ini nantinya akan di buat menjadi ecogeowisata, dimana akan ada tempat bernaung, pemandangan mangrove dan burung migran yang bernaung merupakan daya tarik tersendiri pada daerah tersebut.mangrove juga mimiliki fungsi ekonomis yang penting buahnya dapat di fungsikan sebagai sirup penurun kolesterol, kripik,dan dodol.serta masih banyak fungsinya.


Athiq K.S.

Sabtu, 13 Februari 2010

Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pasir Putih Situbondo

Setelah lama hanya menjadi "kabar angin", akhirnya ada bukti yang menunjukkan bahwa memang benar-benar ada penyu hijau di Pasir Putih Situbondo.
Kamis, 22 April 2009 menjadi hari yang bersejarah buat Imbariri "Curly" Raraswati yang iseng nyelam malam buat cari nudribranch ternyata malah ketemu penyu.. seperti yang terlihat pada foto, Riri bahkan sempat main petak umpet sama sang penyu.
Seperti diketahui, penyu hijau termasuk salah satu reptil laut yang dilindungi oleh perundang-undangan Indonesia melalui PP. No. 7 Th. 1999, so... mari kita jaga kelestariannya..

Penelitian Echinodermata di Pantai Pasir Putih Situbondo


Tanggal 22 - 28 Mei 2008 yang lalu adalah waktu pengambilan data TA saya di Situbondo, Jawa Timur. Kamis, 22 Mei 2008, Saya dan kawan - kawan (Euis, Mas Kamal, Ikachu dan Riri) berangkat menuju Situbondo. Mas Kamal menggunakan motor dari Surabaya, sedangkan saya dan lainnya menggunakan bis. Menuju ke terminal Bungur Asih kami diantar menggunakan mobil bersama Ayah dan Ibunya Riri. Perjalanan Surabaya - Situbondo kira - kira memakan waktu 5 - 6 jam. Dari Bungur Asih, kami berangkat kira - kira pukul 10 malam lebih. Di perjalanan, kami pindah bis di Probolinggo. Pada akhirnya kami tiba di Pasir Putih Situbondo kira - kira pada pukul 2 pagi. Kami tinggal di rumah yang dijaga oleh pak Wafi. Selanjutnya adalah istirahat untuk pengambilan data di keesokan harinya. Di keesokan harinya (Jumat, 23 Mei 2008) kami mulai melakukan pengambilan data. Untuk pengambilan data ini, saya khususkan pada pengambilan data dari Tugas Akhir saya saja.

Tugas Akhir saya berkenaan tentang populasi Diadema setosum dan tutupan terumbu karang. Dari kedua hal tersebut saya mencoba melihat ada tidaknya kaitan antara keduanya. Dari beberapa penelitian diketahui bahwa Diadema merupakan spesies kunci di terumbu karang. Diadema merupakan grazer (herbivora) terhadap makroalga yang berada di terumbu karang (Ogden dan Carpenter, 1986; Weil et al., 2002). Keberadaan makroalga merupakan kompeti tor terhadap keberadaan karang, terutama kompetisi ruang. Keberadaan Diadema menjadi stabilisator terhadap keberlangsungan ekosistem terumbu karang. Namun demikian, selain sebagai grazer, Diadema juga merupakan bioeroder, organisme yang menyebabkan bioerosi di terumbu karang. Aktivitas grazer Diadema juga ikut memakan substrat.

Pengambilan data densitas Diadema setosum menggunakan metode plot dengan panjang 70 meter dan lebar 2 meter. Ini mengikuti metode yang digunakan oleh COREMAP dalam buku Manual RHM (Reef Healty Monitoring). Kemudian untuk tutupan karang menggunakan metode LIT (Line Intercept Transect) mengikuti garis tengah dari plot penghitungan densitas Diadema setosum. Pengukuran densitas Diadema dan tutupan dilakukan pada dua kedalaman yang berbeda, yaitu antara 0 - 5 meter dan 5 - 10 meter. Dalam hal ini 0 - 5 meter mewakili perairan dangkal, sedangkan 5 - 10 meter mewakili perairan dalam.

Pada awalnya, pengambilan data hendak saya mulai di kawasan Teluk Pelita di kedalaman antara 0 - 5 meter. Pada kedalaman ini, terutama mendekati darat, dapat ditemui populasi Diadema setosum dengan jumlah yang melimpah. Saya mencoba melakukan transek di tempat tersebut. Saat itu saya dibantu Ika untuk membuat transek. Namun karena suatu alasan, transek yang telah dibuat gagal. Saya memutuskan untuk tidak meneruskan.

Pengambilan data kemudian dilanjutkan di siang menuju sore hari tetap di kawasan Teluk Pelita, namun pada kedalaman lebih dari 5 meter (5 - 10 meter). Kali ini saya dibantu Mas Kamal. Di sini, saya menyadari bahwa saya menemui kendala dalam menyelam karena beberapa kali mencoba menyelam ke dasar seringkali gagal sehingga di kesempatan - kesempatan penyelaman berikutnya diberi sabuk beban yang lebih berat (6 kg).

Pengambilan data kemudian dilakukan harinya (24 Mei 2008). Pengambilan data masih di kawasan Teluk Pelita, namun pada kedalaman yang berbeda yaitu kurang dari 5 meter. Pengambilan dilakukan di pagi hari. Di kedalaman ini, Diadema setosum lebiih melimpah dibandingkan dengan kedalaman lebih dari 5 meter. Di siang menjelang sore hari, dilakukan kembali transek di kawasan terumbu Batu Lawang. Kawasan ini dinamai Batu Lawang karena adanya karang masif yang lumayan besar yang menandai daerah tersebut. Di kawasan Batu Lawang dilakukan transek di kedalaman lebih dari 5 meter. Transek yang digunakan di sini sama dengan transek milik Riri, hanya saja berbeda panjang transek. Di kedalaman ini saya kembali mengalami naik turun ke dasar. Hal ini tentunya berdampak. Selain mengalami kuping yang agak nyeri oleh kedalaman, saya juga mengalami kepala agak pusing. Saya memutuskan untuk kembali ke perahu. Setelah di atas perahu saya menyadari bahwa hidung saya berdarah. Pengalaman mimisan pertama kali dan hal itu terjadi di air. Untuk pengambilan data dilanjutkan oleh Mas Kamal. Untuk kawasan ini ditemui kepadatan Diadema hingga 400 individu lebih pad luasan 140 m2.

Hari Minggu (25 Mei 2008) dilakukan lagi pengambilan data di kawasan Batu Lawang pada kedalaman kurang dari 5 meter. Pengambilan data dilakukan di pagi hari. Di kawasan ini lebih banyak ditemui ditemui Diadema. Dua kali lebih banyak dibandingkan pada kedalaman lebih dari 5 meter. Di sore harinya, pengambilan data dilakukan di kawasan Terumbu Karang Mayit kedalaman lebih dari 5 meter. Transek yang digunakan masih sama dengan transek milik Riri. Di kedalaman ini pula, hidung saya kembali berdarah. Tapi ini tidak lagi menjadi kekhawatiran setelah mengetahui hal itu adalah hal yang umum yang dialami oleh penyelam. Di kawasan ini, didapati sedikit Diadema. Dalam luasan 140 meter2 hanya didapati Diadema kurang dari 10 individu.

Hari Senin (26 Mei 2008) dilakukan pengambilan data terakhir di kawasan terumbu Karang Mayit pada kedalaman kurang dari 5 meter. Untuk di kawasan ini, didapati lebih sedikit lagi Diadema (2 individu).

Dari keseluruhan lokasi transek, diketahui densitas Diadema terbesar ada pada kawasan Batu Lawang di kedalaman kurang dari 5 meter dan densitas terkecil di kawasan Karang Mayit kurang dari 5 meter. Secara visual kondisi karang yang masih baik berada di kawasan Karang Mayit. Sedangkan kondisi yang kurang baik didapati di kawasan Batu Lawang. Kami akhirnya pulang di hari Rabu pagi (28 Mei 2008) dan sampai di Surabaya pada pukul 3 siang.

Pada pengambilan data ini saya hendak berterima kasih kepada beberapa pihak. Pengambilan data banyak sekali dibantu oleh Mas Kamal (RM Farid Kamal Muzaki, S.Si.). Tidak lupa kepada Pak Budi, Pak Harno, Pak Sei, Cak Mat, Mas Ar dan juga teman - teman TA di Situbondo, yaitu Euis, Ika dan Riri serta pihak - pihak lainnya. (not/iecits)

Salam Lestari,

Arnold Victoryus

Biologi ITS

Nudibranch di Terumbu Karang Pasir Putih Situbondo

Pasir putih Situbondo (22 – 28 Mei 2008), beberapa personel pasukan amfibi Intertide melakukan kegiatan penyelaman disekitar terumbu karang di pantai Pasir Putih kecamatan Bungatan, Situbondo. Saat penyelaman dijumpai beberapa jenis Nudibranch seperti Discodoris boholiensis (Discodoridae), Chromodoris annae, Ch. kuniei, Ch. reticulata, Hypselodoris infucata, Risbecia tryoni (Chromodorididae), Phyllidia coelestis, Ph. elegans, Ph. ocellata, Ph. varicosa, Phylidiella pustulosa dan Phyllidiopsis shirinae (Phyllididae) yang tersebar pada kedalaman 4 hingga 20 meter. Selain Nudibranch juga dijumpai beberapa jenis sea slug seperti Elysia ornata dan Thuridilla bayeri.

Umumnya Nudibranch dan sea slug dijumpai diatas sponge atau coral rubble (pecahan karang mati) yang telah ditumbuhi turf algae, mungkin terkait dengan food habits-nya. Ke depan, kami berencana untuk mengadakan penelitian terkait dengan diversitas dan kelimpahan Nudibranch di kawasan terumbu karang Pasir Putih Situbondo sebagai salah satu upaya eksplorasi kekayaan laut Indonesia. (fk/iecits)



Hiu Tutul (Rhincodon typus) di Muara Kali Porong


Sabtu, 17 Mei 2008. Untuk pertama kali perjalanan menjelajahi perairan Sidoarjo. Berangkat dari kali Ketingan sekitar jam 07.15 WIB kami menelusuri sungai selama kurang lebih 90 menit hingga menemukan estuari. Tujuan perjalanan ini tidak lain adalah untuk penelitian, peninjauan kondisi perairan melalui hasil kekerangan serta eksplorasi potensi HAB’s di perairan Sidoarjo, terkait dengan faktor fisik dan kimia perairan. Tim ini terdiri dari 6 anggota dengan 3 orang teknisi perahu.

Tak lama menelusuri sungai, mulai terlihat berbagai jenis vegetasi khas kawasan pesisir, yang tak lain adalah vegetasi mangrove yang bisa ditemui hingga daerah estuari. Sekitar 5 km dari garis pantai, tepatnya di sebelah utara muara kali Porong tiba-tiba perahu mengurangi kecepatan. Terlihat obyek hitam dengan corak tertentu sedang bergerak-gerak dekat permukaan air. Setelah dicermati dan dilihat lebih dekat ternyata obyek tersebut adalah seekor ikan, dengan bagian sirip dorsal dan ekor yang tampak menyembul diatas permukaan air, ikan ini sedang berenang-renang dekat permukaan perairan. Dengan jarak yang cukup dekat tampak sirip dorsalnya yang berwarna gelap dan bercorak bintik-bintik berwarna putih, dan panjang sekitar 4-5 meter adalah seekor ikan Hiu tutul (Rhincodon typus). Untuk pertama kalinya aku melihat hiu tutul tersebut berenang bebas di perairan terbuka. Langsung aku ambil kamera digital yang aku bawa dan segera medokumentasikan apa yang kulihat ini.

Di kejauhan ternyata ikan ini tidak sendiri, kira-kira 5-8 ekor juga tampak berenang-renang dipermukaan air. Jika diamati lebih teliti, ternyata ikan ini membuka mulutnya yang lebar sambil berenang dengan sesekali menutup mulutnya tersebut, ikan ini ternyata sedang mencari makan dengan menyaring air laut untuk mendapatkan plankton di permukaan. Ikan jenis ini seringkali ditemukan di perairan Indonesia timur, diantaranya yang tercatat adalah di selat Madura dan pantai Pasir putih Situbondo.

Menurut keterangan nelayan setempat, ikan ini memang sering ditemukan di kawasan ini, dari informasi yang diperoleh ternyata ikan ini bergerak mengikuti kelimpahan plankton yang ada sebagai sumber makanannya. Adanya ikan ini munkin dapat digunakan untuk menunjukkan adanya plankton yang melimpah.

Setelah puas mengamati, perjalanan dilanjutkan kembali dan dengan jarak yang tidak jauh lagi ternyata ditemukan juga kelompok-kelompok kecil hiu tutul lain yang juga sedang mencari makan, setiap kelompok diperkirakan terdiri dari 5-10 individu. Sehingga perkiraan total hiu tutul disekitar muara porong sekitar 40-50 ekor. Jumlah yang cukup besar jika dilihat dari kondisi perairan yang relatif dangkal, di lokasi ditemukan ikan ini kedalaman air hanya sekitar 6-7 meter. (Ekho/iecits).